Femme.id, Jakarta – Siti Hardiyanti Rukmana membongkar isu lama keluarga. Putri pertama Presiden ke-2 Indonesia Soeharto itu, mengungkapkan detik-detik terakhir meninggalnya sang ibu, Siti Hartinah atau Ibu Tien. Perempuan yang karib disapa Mbak Tutut itu, mengunggah isu lama lewat akun Instagram @tututsoeharto, mengenang 24 tahun berpulangnya Ibu Tien, Rabu (29/4/2020).
Dalam tulisan berjudul 24 Tahun Yang Lalu itu, Tutut menuturkan detik-detik terakhir meninggalnya Ibu Tien. Istri pengusaha Indra Rukmana itu bercerita, setelah sang ibu meninggal, tersebar berbagai pemberitaan yang menyebutkan Ibu Tien meninggal gara-gara tertembak oleh adik-adiknya. Isu lama itu menyebutkan, Ibu Tien tak sengaja tertembak saat dua putranya bertengkar; Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
“Saya heran, siapa manusia yang tega menyebarkan berita keji tersebut. Demi Allah, apa yang bapak ceritakan, itu yang terjadi. Tadinya saya akan diamkan saja. Tapi rasanya berita itu semakin diulang-ulang ceritanya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” tulis mantan Menteri Sosial (14 Maret 1998 – 21 Mei 1998) itu, seperti dikutip dari www. tututsoeharto.id, Kamis (30/4/2020).
Mbak Tutut lalu mengisahkan kronologi meninggalnya sang ibu, 28 April 1996. Dalam unggahannya, Pelaksana Tugas Ibu Negara Indonesia 28 April 1996 – 21 Mei 1998 itu, berjanji, sebelum meninggal ingin masyarakat mengetahui kebenaran cerita yang sempat bikin heboh itu. Siapa pun yang membuat cerita dan ikut menyebarkan, anak sulung pasangan Pak Harto dan Ibu Tien tersebut menyerahkannya kepada Allah SWT.
“Sebelum Allah memanggil saya, masyarakat harus tahu kebenarannya. Alhamdulillah sekarang ada medsos. Saya pun ikut aktif di sana. Siapapun yang membuat cerita itu, dan siapapun yang ikut menyebarkan, kami serahkan pada Allah untuk menilainya. Karena kami meyakini, Allah adalah Hakim Yang Maha Adil,” tulis eks Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) ini.
Berikut tulisan Mbak Tutut itu:
Dua puluh empat (24) tahun lalu, tepatnya 28 April 1996, Ibu kami tercinta telah dipanggil Allah SWT. Saat itu saya sedang bertugas memimpin sidang organisasi donor darah dunia (di Prancis dan Kemudian di London). Alhamdulillah, saat itu saya menjabat Presiden Donor Darah Dunia.
Betapa terkejut ketika saya mendengar berita ibu telah tiada. Saat saya berangkat, ibu masih segar bugar. Mendengar kabar lelayu (berita Ibu wafat), saya langsung kembali ke Jakarta. Itulah perjalanan paling lama yang saya rasakan selama bepergian.
Penerbangan yang saya dapat waktu itu SQ, dan harus berhenti si Singapore. Untuk mempercepat waktu, suami menjemput saya di Singapore. Kami langsung menuju ke Solo. Jenazah ibu sudah ada di sana.
Setelah bertemu ibu dan bapak, kami berangkat ke makam di Giribangun. Saya menemani bapak satu mobil. Dalam perjalanan menuju makam, dengan suara yang dalam, tiba-tiba bapak bercerita:
“Ibumu pagi itu, mengeluh”
“Bapak, aku kok susah nafas yo”
“Bapak tanya mana yang sakit bu”
Ibumu bilang “Ora ono sing loro (tidak ada yang sakit), mung susah nafas pak (hanya susah nafas pak)”
Bapak bertanya lagi, “Dadanya sakit nggak bu”
Ibumu berbisik “ Ora ono (tidak ada)”
Bapak rebahkan ibu dengan bantal yang agak tinggi, karena ibumu susah nafasnya.
Bapak panggil ajudan untuk segera menyiapkan ambulans. Ibu harus dibawa ke rumah sakit segera.
Saya mencoba bertanya ke bapak “Jadi ibu tidak mengeluh sakit sedikitpun pak?”